Islam mengaitkan beberapa bentuk ibadah dengan dimensi waktu pelaksanaannya. Hal ini bisa dimaknai bahwa Islam senantiasanya menyambungkan antara ayat-ayat Allah SWT berupa wahyu skriptual-tekstual (ayat qauliyyah) dengan wahyu rasional-empirik pada semesta (ayat kauniyyah).
Hilal adalah fenomena semesta berupa bulan sabit (crescent moon) sebagai penanda lahirnya bulan baru pada kalender hijriah. Ia terkait dengan cara dan waktu umat Islam memulai ibadah puasa Ramadan dan bagaimana menyambut Idul Fitri.
Sampai saat ini, penanda waktu dimulainya bulan Ramadan dan waktu perayaan Idul Fitri pada kalender hijriah seringkali menjadi polemik internal umat Islam karena terjadi perbedaan dalam menentukannya.
Dalam Bahasa Arab, al-syahr berarti bulan. Kata al-syahr ini disebut dalam Alquran di antaranya, ”Fa man syahida minkum al-syahr fal yashumhu,” (Barang siapa di antara kalian melihat bulan maka berpuasalah). Kata al-syahr secara etimologi berarti pemakluman dan penampakan (al-i’lam wa al-idhhar).
Sebuah interval waktu dinamakan dengan al-shahr karena di sana ada penanda yang memaklumkan dan menampakkannya, yaitu hilal atau bulan sabit. Matahari tidak bisa disebut sebagai penanda interval waktu satu bulan, ia menjadi penanda untuk mengetahui interval waktu hari.
Bahwa satu hari adalah terbitnya matahari dari satu arah dan tenggelam pada arah yang lainnya. Dengan matahari kita mengenal pergantian waktu siang dan malam.
Ketika matahari tidak memiliki penanda yang bisa dijadikan sebagai pemakluman atau penampakan yang mendefinisikan dan menentukan interval waktu satu bulan, maka bulanlah yang bisa mendefinisikan dan menentukan batasannya.
Penanda bulan itu dinamakan dengan hilal yang selalu setia ada dan hadir pada setiap awal bulannya. Oleh karena itu, para ulama menangkap hikmah bahwa hilal sengaja diciptakan Allah SWT untuk menandai interval waktu bulan, menjadi jeda bulan satu dengan bulan berikutnya, sedangkan matahari diciptakan untuk menandai interval waktu hari dengan siang dan malamnya.
Umat Islam membutuhkan keduanya untuk mendefinisikan dan menentukan dimensi waktu kehidupannya, di antaranya dalam rangka menandai waktu kapan beribadah kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, dalam ilmu fikih disebutkan bahwa untuk memulai puasa pada bulan Ramadan umat Islam dianjurkan untuk mengamati munculnya hilal (muraqabah al-hilal) sebagai penanda awal dan akhir ibadah puasa dan sekaligus dimulainya bulan baru pada hari raya Idul Fitri.
Upaya untuk mengamati dan mengetahui hilal ini merupakan kewajiban individual (wajib ‘ain) yang bisa dilakukan sendiri maupun dengan menerima informasi orang lain. Perintah Rasulullah SAW yang seringkali disitir dalam persoalan ini adalah, “Shumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi” (Berpuasalah engkau karena melihat bulan dan berbukalah ketika melihatnya).”
Di dalam Alquran juga terang benderang disebutkan, “Fa man syahida minkum al-syahr fal yashumhu.” (Barangsiapa di antara kalian melihat bulan maka berpuasalah).
Dalam prosedur dan praktik mengamati bulan ini paling tidak umat Islam terbelah menjadi tiga kelompok yang berbeda. Pertama, kelompok yang mengharuskan terlihat dan tampaknya bulan dengan penglihatan mata maupun melalui alat bantu optik. Prosedur ini dinamakan metode ru’yah.
Kedua, kelompok yang menyepakati adanya kriteria altitude dan elongasi hilal tertentu sehingga bisa terlihat, metode ini dinamakan dengan imkan al-ru’yah. Sedangkan kelompok ketiga, adalah umat Islam yang menggunakan cara penghitungan matematis dan anstronomis untuk menentukan adanya hilal, langkah ini dinamakan metode hisab wujud al-hilal.
Ketiga kelompok ini sama-sama memiliki argumentasi spesifik yang terpusat pada cara antara memahami Hadits secara tekstual karena tendensi redaksional yang kuat dan eksplisit (ma la yahtaju ila ta’wil fin nash aula fil fahmi mimma yahtaju ila ta’wil) dan tendensi kebutuhan merasionalisasi (ta’wil) Hadits tersebut dengan pijakan perkembangan ilmu pengetahuan sains dan astronomik.
Prosedur dan praktik normal dalam metode ru’yah yang selama ini dijalankan adalah teramatinya hilal melalui mata telanjang atau alat bantu optik setelah terjadinya konjungsi (ijtima’) atau peristiwa ketika matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama.
Sedangkan prosedur dan praktik normal dalam metode imkan al-ru’yah mensyaratkan keterlihatan hilal itu harus dalam posisi altitude minimal 3 derajat dan sudut elongasi 6.4, sesuai dengan kesepakatan MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura) tentang visibilitas hilal.
Dalam prinsip metodis imkan al-ru’yah keterlihatan hilal di bawah kriteria 3, 6.4 akan sulit atau kemungkinan kecil terlihat. Secara astronomik, kekuatan cahaya bulan di bawah 3 derajat kalah dengan cahaya mega (syafaq).
Kuatnya cahaya mega membuat hilal yang masih di bawah 3 derajat sulit untuk teramati. Prosedur yang dilakukan kemudian adalah dengan penggenapan bulan Ramadan menjadi 30 hari (istikmal) untuk memasuki bulan Syawal.
Langkah ini juga terkait dengan pendekatan skriptual-tekstual terhadap Hadits, “Fa in ghumma alaikum fakmilu’ al-‘iddata tsalasina yauma.” (Jika saja terhalang penglihatanmu atas bulan maka sempurnakan hitungan bulan 30 hari) dan Hadits, “fa al-syahru hakadza, wa hakadza wa hakadza”. (Hitungan satu bulan itu jika tidak 29 hari maka 30 hari).
Sedangkan prosedur dan praktik normal dalam metode hisab wujud al-hilal adalah dengan melakukan penghitungan matematis dan astronomik untuk menentukan bahwa hilal telah ada (wujudul hilal) meskipun tidak terlihat.
Prinsip wujudul hilal adalah kriteria penentuan diakhiri dan dimulainya bulan baru dengan pijakan dua hal: konjungsi telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal qhurub) dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset).
Dengan demikian, dimulainya waktu petang tersebut didefinisikan sebagai awal bulan, tanpa melihat berapapun sudut altitude bulan saat matahari terbenam.
Prosedur ini tidak mempertimbangkan kriteria altitude minimal hilal bisa terlihat, dengan dalih bahwa hilal itu sebenarnya sudah ada (wujud). Eksponen kelompok ini menggeser pamahaman ru’yah (melihat) dengan wujud (ada) yang dianggap mereka, melalui proses ta’wil, lebih otoritatif.
Jika diperhatikan, pendapat masing-masing kelompok memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebagian di antara eksponen kelompok itu sudah duduk bersama dan merumuskan kriteria berapa derajat hilal bisa teramati dengan mensinergikan pendekatan skriptural-tekstual dan rasional-astronomik sehingga lahirlah kriteria 3, 6.4 sebagai standar bersama yang dikenal dengan kriteria baru MABIMS.
Sebagian eksponen kelompok yang lain masih tetap berpijak pada pendekatan ta’wil dan rasional-astronimik.
Jika ditelisik, kelemahan metode ru’yah dan imkan al-ru’yah adalah hilangnya visi kalender jangka panjang umat Islam dalam satu kalender universal karena terkendala teknis pelaksanaan ru’yah yang harus dilakukan mendekati hari pergantian bulan, meskipun sebenarnya bisa diposisikan bersifat verifikatif.
Sedangkan kelemahan metode hisab adalah ta’wil yang tidak memiliki basis alasan kuat sebagai prosedur interpretasi, di samping rigiditas matematis yang hitam putih menyebabkan keengganan melakukan dialog berkesinambungan untuk mencari titik temu bersama.
Penentuan awal dan akhir Ramadan dengan berpijak pada metode imkan al-ru’yah semata memang akan mempersulit upaya formulasi kalender jangka panjang yang menyebabkan lemahnya kalender hijriah sebagai pedoman universal baik ibadah ataupun agenda spesifik seperti perkantoran dan transportasi penerbangan domestik maupun internasional misalnya.
Sedangkan metode hisab akan menjadi solusi bagi itu semua, meskipun dihadapkan pada keharusan melakukan ta’wil dengan basis pertimbangan disipliner dan ilmiah yang lemah.
Keadaan seperti ini tentu membutuhkan jalan moderat untuk disepakati bersama sehingga umat Islam tidak selalu terjebak pada problem laten perbedaan memulai dan mengakhiri puasa serta sengkarut kapan merayakan Idul Fitri.
Upaya untuk menuju kalender universal yang disepakati seluruh umat Islam tidak hanya di Indonesia tetapi juga seluruh umat Islam di dunia dunia seharusnya bisa dilakukan dengan melepas ego akademik dan sektoral organisasi sebagai penyakit laten yang menyebabkan problem tak berkesudahan bagi pengalaman beragama umat Islam.
Sebuah prosedur dan mekanisme moderat yang mampu mengintegrasikan kedua metode imkan al-ru’yah dan hisab wujud al-hilal dibutuhkan untuk mengakhiri ini semua.
Kriteria moderat untuk memformulasikan kalender universal bisa dilakukan sebagai upaya mengambil elemen terbaik dalam metode ru’yah dan mengabaikan kekurangannya, serta mengambil elemen terbaik dalam metode hisab dan
meninggalkan kelemahannya sebagaimana berlaku dalam prinsip al-jam’ wa al-taufiq (mengkolaborasikan dan mengsinergikan) dan al-muhafadzah ala qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi yang baik dan mengambil kebaruan yang lebih baik) dan ma la yudraku kulluh ya yutraku kulluh (sesuatu yang tidak bisa didapatkan keseluruhan maka tidak bisa ditinggalkan keseluruhannya).
Moderasi metodis antara imkan al-ru’yah dengan hisab wujud al-hilal bisa terjadi apabila semua elemen duduk bersama (ijtihad jama’i) untuk menurunkan idealisme metodis masing-masing (tanazul).
Eksponen kelompok yang berpijak pada ru’yah untuk bisa menurunkan kriteria altitude visibilitas hilal sehingga mendekati prinsip wujud, sedangkan eksponen kelompok yang berpijak pada hisab menggeser otorisasi hisab sebagai penentu (al-isbat) awal dan akhir bulan menuju hisab sebagai penyangkal (al-nafyu) kesaksian ru’yah jika bertentangan dengan hasil hisab yang ada (inna al-hisab al-falaki yanfi wa la yusbit).
Eksponen kelompok hisab akan menjadi lebih dekat dengan teks perintah “melihat” karena diajak untuk mempertimbangkan derajat kemungkinan teramatinya hilal (meskipun sangat minimal) dan eksponen kelompok ru’yah akan lebih dekat dengan fakta bulan sudah ada secara astronomik meski belum bisa terdeteksi penglihatan visual mata atau bahkan alat bantu optik karena terhalang fenomena astronomik atau dikarenakan adanya perbedaan mathla’.
Dengan demikian, tujuan umat Islam untuk memiliki satu kalender universal dan berorientasi jangka panjang bisa tercapai. Hasil hisab bisa dirumuskan secara kolektif dengan kriteria tunggal untuk merancang kalender universal jangka panjang dan ru’yah secara konsisten dilakukan bersamaan untuk mengawal, melakukan verifikasi dan validasi formulasinya.
Pijakan prinsip kriteria moderat ini sangat kuat dalam banyak postulat pemikiran hukum para ulama terdahulu yang dihadapkan pada ketegangan tak berkesudahan antara orientasi tekstual dan rasional dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dan menyikapi realitas dinamis sains dan pengetahuan rasional-empirik.
Imam Al-Syatibi dalam magnum opus-nya, Al-Muwafaqat, juga sudah menekankan pentingnya ijtihad fi al-waqi’ (ijtihad di ranah empirik) di samping ijtihad fi al-nash (ijtihad di ranah teks).
Di antara postulat hukum Imam Al-Ghazali yang mengajak kepada moderasi metodis ilmu pengetahuan adalah prinsip, “Muwafaqah sharih al-ma’qul li shahih al-manqul” (singkroni antara rasionalitas aksiomatis dan validitas tekstual)
dan prinsip “Asyraf al-ulum ma izdawaja fihi al-aqlu wa al-sam’u” (Semulia ilmu adalah yang mensenyawakan antara akal dan wahyu). Ibn Taimiah juga menuliskan bukunya dengan judul, “Dar’u al-ta’arudl baina al-naql wa al-aql” (Menolak kontradiksi antara tekstualitas dengan rasionalitas).
Dalam hal ini, pemerintah yang berkewajiban mengatur kehidupan beragama warga negara, termasuk di dalamnya terkait dengan pelaksaan ibadah umat beragama yang merupakan ibadah individual akan tetapi menyangkut harmoni kehidupan sosial harus ditempatkan sebagai otoritas tunggal yang mengupayakan titik temu bersama, sebagaimana seruan Alquran, “Athi’u Allah warrasula wa ulil amri minkum.
” (Taatlah kalian kepada Allah, Rasul dan pemimpin di antara kalian). Begitu juga adagium, “Riayatul imam ‘ala al-ra’yah manutun bi al-mashlahah.” (Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya didasarkan atas prinsip kemaslahatan).
Segenap eksponen kelompok metodologis yang ada pada akhirnya harus mengikuti kebijakan pemerintah sebagai bagian dari upaya membangun persatuan umat Islam.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih, “Al-Mashlahah al-ammah tuqaddamu ‘ala al-mashlahah al-khassah.” (Kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan kelompok).
Penentuan awal bulan termasuk di dalamnya bulan Ramadan dan akhir bulan ini untuk memulai bulan di mana umat Islam merayakan hari Idul Fitri yaitu bulan Syawal, hari Arafah di bulan Dzulhijjah yang terkait dengan ibadah haji seluruh umat Islam di dunia, merupakan ranah otoritas yang sebaiknya diberikan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, karena menyangkut hajat hidup banyak orang dan sangat terkait dengan harmoni sosial (al-mashlahah al-ammah).
Kebijakan pemerintah harus diangkat sebagai produk kebijakan yang bersifat mulzim dalam arti mengikat seluruh umat Islam di Indonesia, daripada sekedar ikhbar atau fatwa yang mana umat Islam bebas untuk mengikuti atau meninggalkannya.
Keputusan Kementerian Agama dalam hal penentuan awal dan akhir bulan ini akan sama dengan kebijakan terdahulu terkait tata cara peribadatan umat Islam dalam kondisi wabah (taqyiid ba’dl dlawahir al-ibadat fi al-nawazil), untuk meredam sebaran inveksi covid-19 pada periode tahun 2019-2021.
Kementerian Agama dalam hal ini justru diharuskan untuk mengambil kebijakan yang berpijak pada kemaslahatan dan mengikat seluruh umat Islam, meskipun terkait dengan peribadatan yang bersifat individual.
(Anis Mashduqi, PPM Al-Hadi Yogyakarta)